Penelitian menemukan komentar bernuansa seksis serta pelecehan terhadap bentuk tubuh maupun orientasi seksual masih marak di dunia digital.
(iStockphoto/Markgoddard)

BOLAGILA – Komentar bernuansa seksis, pelecehan terhadap bentuk tubuh maupun orientasi seksual, dinilai menjadi indikator bahwa kekerasan tetap marak di dunia digital. Ini terpotret lewat penelitian yang diinisiasi oleh Jakarta Feminist di akhir 2020 hingga awal 2021 lalu.

Yoane Salim, salah satu pengurus Jakarta Feminist sekaligus koordinator Feminist Festival 2021, mengatakan jumlah laporan kekerasan naik signifikan khususnya kekerasan berbasis gender online.

Responden menyebut bentuk-bentuk kekerasan antara lain, ancaman dan tindakan penyebaran video serta foto intim tanpa persetujuan (consent).

“Sebanyak 22 persen responden baru mengalami kekerasan berbasis gender sejak awal pandemi atau bisa kita sebut korban ‘baru’], kemudian 48 persen mengatakan mereka pernah mengalami kekerasan secara daring,” jelas Yoane dalam konferensi pers Feminist Festival 2021, Kamis (18/11).

Penelitian dilakukan dalam dua metode yakni survei online dan focus group discussion (FGD). Survei melibatkan 315 responden dari 25 provinsi di Indonesia dengan konsentrasi terbesar dari pulau Jawa.

Sedangkan, FGD digunakan untuk menghimpun informasi dari lembaga layanan dan pemerintah dalam merespons kekerasan berbasis gender (KBG) selama pandemi.

Temuan mengejutkan adalah KBG paling sering terjadi di tempat tinggal (56 persen), sedangkan lokasi kedua adalah di media sosial (38 persen).

Kenali dan Laporkan Berbagai Bentuk Pelecehan Seksual di Ranah Digital
Penelitian menemukan komentar bernuansa seksis serta pelecehan terhadap bentuk tubuh maupun orientasi seksual masih marak di dunia digital.

Komunitas Tuli

Pembicara lain, Nissi Taruli dari FeminisThemis, komunitas feminis Tuli, juga menyuarakan banyak keresahan teman Tuli saat bicara ruang digital.

“Tidak semua teman Tuli mengetahui dan sadar tentang KBGO, banyak yang menjadi korban dan bahkan ada yang tidak sadar kalau dia sudah menjadi korban KBGO,” kata Nissi.

Tak hanya soal kekerasan, kaum Tuli juga kerap termarjinalkan dengan dunia digital yang berbasis suara. Banyak informasi di ruang digital tanpa terakomodasi dengan aksesibilitas seperti juru bahasa isyarat (JBI), Opened Caption, Closed Caption, atau takarir (subtitle).

Sementara itu, Richa F. Shofyana dari Arus Pelangi, organisasi yang memperjuangkan hak dan kesetaraan kaum LGBTIQ, menyebut setidaknya ada 17 bentuk kekerasan yang dialami kaum LGBTIQ, di antaranya adalah pelanggaran privasi, pelecehan dan ancaman kekerasan.

“Kami menemukan banyak sekali bentuk-bentuk kekerasan di ruang digital,” katanya.

Berangkat dari isu kekerasan di ruang digital, tahun ini Feminist Festival mengangkat tema ‘Untuk Internet yang Lebih Feminis’.

Yoane berharap Feminist Festival dapat semakin menyadarkan masyarakat akan pentingnya ruang digital yang aman dan nyaman bagi perempuan juga kelompok marjinal lainnya.

Puncak acara akan berlangsung pada 26-28 November 2021 secara daring baik lewat Zoom maupun kanal YouTube Jakarta Feminist. Acara ini terdiri dari panel pleno, kelas diskusi, lokakarya, nonton bareng, serta pertunjukan seni.