Tak kurang dari Menkes Budi Gunadi Sadikin, Mahfud Md hingga Anies Baswedan hadir saat pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UI.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, SpP(K), M.Sc. (BOLAGILA/Herman Zakharia)
BOLAGILA, Jakarta Meski namanya tak begitu nyaring di telinga publik, sosok perempuan ini tak bisa dianggap enteng. Lihat saja saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Sabtu 17 Februari 2024, sejumlah tokoh ikut hadir memberikan penghormatan.
Tak kurang dari Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, mantan Menko Polhukam Mahfud Md hingga mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hadir mendengarkan Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, SpP(K), M.Sc. membacakan pidato pengukuhannya dalam acara yang dipimpin langsung Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D.
Dalam pidato berjudul “Orkestrasi Menuju Eliminasi Tuberkulosis di Indonesia pada Tahun 2030”, Erlina menyoroti kasus Tuberkulosis (TB) di Indonesia yang mengalami pola peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data yang dirilis WHO Global TB Report, ada 834.000 kasus baru di Indonesia pada 2010 yang meningkat menjadi 842.000 di tahun 2019 dan puncaknya mencapai 1.060.000 kasus pada 2022.
Erlina Burhan adalah dosen FK-UI spesialis paru yang lahir di Padang, Sumatera Barat pada 15 Mei 1966. Ia menyelesaikan pendidikan kedokteran umum di Universitas Andalas, Padang pada 1989 dan melanjutkan studi di Universitas Heidelberg, Jerman dengan meraih gelar Master Sains pada 1995.
Pada 2004, ia mendapatkan gelar spesialis paru di UI dan satu tahun kemudian Erlina menjadi Dosen FK-UI sampai sekarang. Dedikasinya sebagai pendidik pula yang membawa Erlina meraih gelar konsultan (Sp. P(K)) di bidang infeksi paru-paru pada 2010. Puncaknya, pada 2012 ia berhasil mendapatkan gelar doktor dari UI.
Sebagai dosen, Erlina sangat dikenal dengan keramahannya. Ia kerap mengajak mahasiswa untuk berkontribusi langsung dalam kegiatan ilmiah. Bahkan, ia juga memperkenalkan mahasiswa bimbingannya kepada tokoh dan ahli dalam berbagai ilmu.
Selain sebagai dosen, Erlina juga menjabat sebagai kepala Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Pernapasan FK-UI. Tak hanya itu, ia juga aktif berkonrtibusi dalam berbagai penelitian dan menghasilkan banyak tulisan ilmiah, baik nasional maupun internasional.
Erlina juga bergabung dengan beberapa organisasi, seperti Koalisi Organisasi Profesional Tuberkulosis (TB) sebagai kepala profesional, Ketua Majelis TB tentang Masyarakat Respirologi Asia-Pasifik sejak 2017 sampai sekarang, anggota kelompok pengembangan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan bersama American Thoracic Society, Erlina juga membuat pedoman standar internasional perawatan TB.
Saat pandemi Covid-19, Erlina sangat aktif memberikan pendidikan dan informasi kepada masyarakat melalui berbagai media. Ia juga melakukan penelitian tentang Covid-19, baik uji klinis maupun non-uji coba.
Berpraktik di sejumlah rumah sakit di Jakarta, Erlina yang menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Jakarta periode 2015–2020 mengaku tak banyak memiliki waktu mendampingi anaknya belajar di rumah karena harus bekerja di rumah sakit saat pandemi melanda.
Sebagai apresiasi atas kontribusi tersebut, ia menerima berbagai penghargaan, salah satunya sebagai Tokoh Perubahan Republika 2020 yang diberikan langsung Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Lantas, apa saja tambahan kesibukan Erlina setelah menjadi Guru Besar Tetap UI dan apakah kesempatan berkumpul dengan keluarga semakin berkurang?
Apakah menjadi dokter dan dosen seperti sekarang memang cita-cita Prof sejak kecil?
Kalau saya kan zaman dulu itu sering di sekolah kita mengisi buku kenangan. Nah biasanya di buku itu menulis nama, alamat, hobi, terakhir cita-cita. Dan waktu itu saya ingat sekali di SD saya mengisinya jadi dokter. Saya kira hampir semua kita mengisi dokter ya sebagai cita-cita.
Mungkin laki-laki nulisnya pilot, tentara gitu. Kalau perempuan rata-rata dokter. Enggak ada yang cita-cita ibu rumah tangga, nulis gitu enggak ada ya. Pas SMP, kebiasaan zaman dulu tuh kita masih sering lakukan, nulis-nulis buku gitu. Buku kenangan apa sih namanya. Lalu saling minta diisi gitu ya. Itu saya juga heran bertahan terus nulisnya dokter. Bahkan SMA juga begitu, dokter juga
Lantas kenapa memilih spesialis paru?
Oh itu sebetulnya saya enggak milih ya. Jadi waktu saya di puskesmas, dulu itu kalau tamat dokter wajib ke puskesmas selama tiga tahun ya. Kemudian saya mendapatkan informasi, ada beasiswa DAAD. Dan salah satu disebutkan ada untuk dokter.
Dan itu sekolahnya di Jerman, Heidelberg karena DAAD kan beasiswa dari pemerintah Jerman. Lalu saya apply dan alhamdulillah diterima dan kemudian setelah dari puskesmas, menikah dulu, lalu berangkat ke Jerman.
Itu berarti beasiswa S2 ya?
S2 iya. Jadi S2 saya itu tentang community health. Nah, menariknya di program itu mengharuskan kita melakukan riset untuk tugas akhir, dan syarat risetnya juga bagus nih. Melakukan riset enggak boleh di Jerman, tidak boleh di negara asal.
Jadi saya juga mikir nih, di mana ya kira-kira risetnya? Saya mikir pengen melakukan riset di suatu tempat yang saya belum pernah ke tempat itu. Saya sudah pernah tinggal di Amerika karena waktu SMA ikut program AFS, itu pertukaran pelajar waktu SMA. Kemudian juga di Jerman kan sekolahnya sampai Jumat, Sabtu dan Minggu bisa ke negara-negara lain.
Tapi saya pikir kan itu mudahlah ditempuh, jadi janganlah negara-negara sekitar Jerman gitu ya. Kalau coba ke benua Australia saya juga pernah fellow enam bulan. Yang saya belum pernah ke Afrika nih, gitu ya.
Lalu kemudian saya tanya ke institut, kalau di Afrika apakah ada penelitian-penelitian atau project yang sedang berlangsung yang saya bisa ikut penelitian di project tersebut? Ternyata ada, tepatnya di Namibia, itu dekat Afrika Selatan. Dan kebetulan saat itu saya bisa melakukan penelitian tentang tuberkulosis.
Waktu itu meneliti tentang mengapa pasien-pasien tuberkulosis itu sebagian enggak selesai berobat sampai sembuh. Jadi saya melakukan wawancara kepada pasien, keluarga dan juga para petugas. Kendalanya memang ada waktu itu kan masalah bahasa ya. Kalau dokter dan perawatnya bisa bahasa Inggris tapi pasiennya kan enggak bisa.
Bahasanya bahasa Afrika yang di sana bahasanya banyak banget. Sama dengan Indonesia, ada Sunda, ada Jawa, ada Padang, ada Batak, di sana juga gitu. Akhirnya ya tentu saja saya pakai penerjemah.
Ketika itu mulai tertarik dengan tuberkulosis?
Iya, saya kemudian memutuskan, nanti kalau kembali ke Indonesia saya harus ambil spesialis ini, ingin mengambil spesialis yang berhubungan atau related dengan tuberkulosis. Walaupun di puskesmas juga ketemu dengan pasien-pasien tuberkulosis, tapi ketika itu belum ada ketertarikan.
Tapi begitu di Afrika meneliti dan mengetahui bahwa tuberkulosis itu banyak sekali masalahnya, bukan hanya masalah medis, saya merasa harus lebih banyak belajar nih. Jadi setelah riset, kembali ke Jerman, menyelesaikan S2 dan kembali ke Indonesia, kemudian seterusnya melanjutkan sekolah lagi menjadi dokter spesialis paru di FKUI.
Sekarang Prof juga dikukuhkan sebagai Guru Besar FKUI, apakah kesibukannya bertambah?
Sebetulnya, apakah jadi guru besar atau bukan guru besar, guru biasa saja atau dosen biasa, kesibukannya sih tetap sibuk ya. Cuma mungkin kalau jadi guru besar ada tuntutan untuk fokus mengajar lebih banyak lagi. Dan juga mungkin menambah riset-risetnya dengan membimbing banyak teman-teman dokter dan murid-murid juga begitu ya.
Tapi kalau kesibukan, saya rasa sih sebelum guru besar pun saya sudah sibuk ya. Apalagi kan sebagai dosen kita punya Tridarma Perguruan Tinggi ya, untuk pelayanan, untuk pendidikan, dan penelitian. Jadi tiga aspek itu harus kita penuhi.